Laman

Minggu, 15 Desember 2013

Desa Adat Penglipuran Bali








          Desa wisata Penglipuran Bali terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli dengan ketinggian 500-600 m di atas pemukaan laut dan 80292893 LS, 11503036 BT. Yang berjarak 5 Km arah utara dari Kota Bangli dan 45 Km dari kota Denpasar. Luas Desa Penglipuran adalah 112 Ha, 9 Ha digunakan sebagai pemukiman warga dan sisanya adalah hutan dan tanah tegalan/ladang. Desa adat Penglipuran  merupakan  kesatuan masyarakat hukum adat di Provins Bali yang merupakan satu kesatuan tradisi dalam menata pergaulan hidup umat Hindu secara turun-temurun yang memiliki wilayah desa tertentu. Kata Penglipuran berasal dari kata “penglipur”, yang memiliki arti pelipur hati (penghibur hati). Nama ini diberikan oleh Raja Bangli ketika mengungsi di desa ini bersama keluarga kerajaan dan pengawalnya
            Bahasa yang digunakan di desa adat Penglipuran Bali adalah bahasa Bali. Bahasa Bali adalah sebuah bahasa Austronesia dari cabang Sundik dan lebih spesifik dari anak cabang Bali-Sasak. Bahasa ini terutama dipertuturkan di pulau Bali, pulau Lombok bagian barat, dan sedikit di ujung timur pulau Jawa. Masyarakat adat Penglipuran Bali adalah masyarakat adat yang faham akan modernisasi. Walaupun statusnya masyarakat adat namun masyarakat desa penglipuran Bali tidak menutup diri terhadap modernisasi. Salah satunya adalah ada berbagai jenis barang-barang modern yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari misalkan motor, mesin cuci, televisi, dan lain-lain. Mata pencaharian di desa adat Penglipuran Bali adalah heterogen, namun lebih dominan kepada pertanian. Serta banyak  para pemuda yang mencari ilmu diluar daerah sehingga ada masyarakat yang menjadi Pegawai Negeri Sipil, bahkan para pemuda banyak yan bekerja di kapal pesiar.
            Desa adat Penglipuran ini dipimpin oleh seorang ketua adat atau biasa disebut Jero Pendesa yang bernama I Wayan Supat. Desa adat cenderung menutup diri terhadap budaya luar, namun dalam hal pendidikan di desa adat Penglipuran  banyak para pemuda yang mengenyam penddikan bahkan sampai jenjang yang tinggi. Bahkan didepan pintu masuk desa Penglipuran ada sebuah sekolah sejenis sekolah Taman Kanak-kanak atau PAUD. Hal itu membuktikan bahwa di desa Penglipuran system pengetahuannya sudah maju.
        Adapun seni tari yang ada, yaitu tari pendet, tari rejang dan tari baris. Sebagian besar masyarakat desa adat Penglipuran adalah beragama Hindu Di dalam Desa Penglipuran, ada sebuah kaidah arsitektur yang disebut dengan nama awik-awik untuk mengatur semua tata cara pembangunan.  Dalam pembagian peruntukan lahan (tata ruang), Desa Penglipuran menganut sistem Tri Mandala Dalam masyarakat desa adat Penglipuran ada upacara adat diantaranya upacara pernikahan dan ngaben.
          Dalam desa adat harus ada 4 unsur yg tidak boleh sembarangan  membuat desa adat tapi harus memiliki 4 unsur  yang harus dipenuhi yang biasa disebut “catur kuta atau 4 unsur”:
1.      Tuah atau masyarakat adat itu harus memiliki keyakinan(unsur ketuhanan)
2.      Datu atau ratu tau pemimpin
3.      Parimandala atau memiliki wilayah/ wilayah kekuasaan/wilayah kerja
4.      Memiliki kraman atau warga
5.      Harus memiliki aturan adat(unsur tambahan)
         Dalam masyarakat adat di  Bali tidak mengenal yang namanya istilah Undang-Undang tapi disebut dengan istilah “Awig-awig”,yang memiliki konsep “Tri Tika Karana”, yaitu sebuah konsep yg merupakan landasan operasional landasan tujuan desa adat itu sendiri,. Tri artinya tiga, Tika artinya harmonis/seimbang/aman/damai, karana artinya penyebab, penyebab keharmonisan, keseimbangan, keamanan, kedamaian, kebahagiaan, kesejahteraan yang ingin dicapai oleh komunitas adat itu sendiri tujuannya.
        Tujuan dibentuknya masyarakat adat untuk mencapai keluhuran budi yg ditopang oleh kesejahteraan lahir dan batin. Jadi desa adat identic dengan kedamaian. Target yang paling ideal itu seimbang, maksudnya ada kiri dan kanan. Konsep yang diinginkan orang hindu adalah keseimbangan atau keharmonisan. Pembagian awig-awig atau Tri Tika Karana akan dibagi tiga bagian:
1.      Sukerta tata parahyangan, hubungan manusia yang harmonis secara vertikal dengan Tuhannya.
Konsep ketuhanan, ddibangun tempaat suci, apa yang dipersembahkan dll. Orang hindu meyakini adanya  satu Tuhan. Dewa berbeda dengan Tuhan, kalau dewa merupakan manifestasinya,da dewa Brahmana, Wisnu, Siwa, sanghara, dll. Dewa Brahma merupakan manifestasi Tuhan sebagai Pencipta, wisnu manifestasi Tuhan sebagi Pelindung, Siwa manifestasi Tuhan sebagai Pelabur. Dalam masyarakat adat ada semboyan Bhineka tunggal ika Tanghana Darma Mangruah, oleh masyarakat adat diadopsi untuk mnyatukan persatuan-persatuan anatr umat hindu itu sendiri.
        Di Hindu sudah mengenal pancasila sejak abad ke-12 pada kitab sutasoma karangan mpu tantular, disitu disebutkan pancasila karma, panca adalah lima, sila adalah dasar dan karma adalah hubungan yang harmonis
Tuhan orang hindu disebut sanghyang widi, Pita karma, dengan leluhur, Buta karma, keharmonisan dengan alam lingkungan, Manusia karma, hubungn harmonis dengan manusia, Negara karma, hubungan harmonis dengan Negara.
2.                    Pawongan, kehidupan harmonis yang horizontal antara manusia dengan manusia. Dalam konsep ini ada istilah yang disebut Adagium Tatwamasi,  yaitu saya adalah anda dan anda adalah saya. Artinya kita harus saling merasakan, kalau kita menyakiti seseorang dia akan sakit dan bila orang lain menyakiti kita, kita akan saakit juga. Jadi haruslah saling menghormati dan menghargai. Contoh masyarakat Hindu cenderung makan daging babi, ketika ada pesta selalu disediakan daging selain daging babi yang disebut hidangan selam, maksudnya hidangan untuk kaum muslim. Dalam cara masaknya pun dibedakan. Dalam konsepnya juga golongan minoritas didahulukan.
      System kekeluargaannya menggunakan patrilineal atau kebapak-an atau garis laki-laki atau kepursa, namun nati wanita bisa berstatus laki-laki,artinya  yang menikah harus ikut suami jangan suami ikut istri. Tapi bila dalam keluarga tidak ada laki-laki disinilah akan terjadi sebuah perkecualian yang akan menyebabkan salah satu dari keluarganya distatuskan atau diputrika atau senyana rajeg namanya. Maka dalam perkawinan innilah si laki-laki yang ikut istri tetapi statusnya terbalik, yang perempuan berstatus laki-laki dan yang laki-laki berstatus istri.
         Di desa Penglipuran tidak boleh memiliki istri lebih dari satu, yang merupakan aturan adat yang sudah berlaku sekitar 700-an tahun. Karena umur desa sudah 700-an tahun. Orang penglipuran sudah memberikan proteksi kepada kaaum wanita agar tidak dimadu. Aturan ini disediakan fasilitas. Ada sebuah pekarangan namanya Karang memadu, yaitu tempat lokalisir yang gunanya untuk  meenempatkan orang yang berpoligami. Yang mana akan dihukum dengan istri mudanya. Lokasinya disebelah geger Barat desa. Walaupun disediakan fasilitas namun sampai saat ini belum ada yang mau menempati pekarangan tersebut karena sanksinya yang berat. Dan kesakralan perkawinannya tidak akan disahkan di desa ini, secara adat perkawinan itu tidak akan diproses. 
Bentuk perkawinan sercara umum ada 2:
1.      Perkawinan biasa, istri ikut suami
2.      Perkawinan yang tidak biasa, suami ikut istri
3.      Perkawinaan padegelahan artinya sama-sama memiliki
Jenis-jenis pernikahan di desa adat:
1.      Meminang atau dalam bahasa Balinya adalah Memadik
2.      Kawin lari atau lari bersama karena biasanya disebabkan oleh tidak adanya persetujuan dari beberapa pihak
3.      Perkawinan Mleugandaan atau pemerkosaan atau menculik, hal ini dilkukan pada zaman dulu, seperti yang dilakukan raja.
Organisasi utama at organisasi kelompok penabuh, penari, kelompok jurumasak, keamanan/pecalang dan Seke Taruna atau muda-mudi. Ada konsep “Sesane Mandut Linggih, Linggih Manut Sesane”, yang artinya apabila ada masyarakat dnas yang masuk ke masyarakat adat artinya dia harus tunduk dan patuh kepada aturan adat yang berlaku di desa adat tersebut.

          Ngaben di Bali identik dengan pembakaran mayat, namun bukan hanya pembakaran mayat. Perlu diketahui bahwa ngaben adalah pelaksanaan ajaran agama hindu yang man agama hindu memiliki 3 kerangka dasar:
1.      Susila
2.      etika/ cara
3.      Ritual/ sesajen
Tujuan ngaben adalah kembali kepada asalnya. Pada zaman majapahit ngaben dilakukan pada abad ke-16 di Bali . tujuan yang ke-2 adalah penyucian roh, bila roh yang tidak diabenkan ia akan mengitari mayatnya dikuburan yang akan merusk keharmonisan tatanan misalnya dikeluarga dulu, kemudian ke masyarakat. Mayat yang diabenkan disertai dengan penyembelihan sapi karena diibaratkan sebagai sarana untuk menuju alam jiwa karena sapi merupakan tunggangan dewa Siwa. Ada perbedaan mayat laki-laki dan wanita. Laki-laki dikuburkn tengkurab atau telungkup. Jika wanita dikuburkan dengan terlentang.
Bangunan rumah di desa Penglipuran sangat bergandengan. Setiap pintu masuk menuju ke pekarangan. Di Penglipuran hanya ada kasta Sudhra.  

Dokumentasi :

*)Tempat menyimpan buah-buahan untuk
upacara saat ngaben/pernikahan 

       


Anak-anak desa adat Penglipuran, Bali





2 komentar:

  1. Halo. Salam kenal. Saya Ni Made Deni S R, mahasiswa Institut Pertanian Bogor yang sedang melakukan penelitian di Desa Wisata Penglipuran. Saya ingin bertanya seputar kunjungan Anda ke desa tersebut. Apakah Anda bersedia menjadi responden saya? Terimakasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, salam kenal juga. maaf baru sempat baca. kunjungan tsb sudah lama sekali, mungkin ada hal-hal yg saya lupa. tapi sebagian besar tulisan ini mencakup ttg desa Penglipuran Bali yg saya tau. Tp jika ada hal-hal utk keperluan penelitian yg sekiranya saya masih ingat silahkan hub.via email sinura.sinura@gmail.com

      Hapus